Saturday, October 17, 2009

Cinderella Did It Again

Sang Waktu dengan kejam berlalu meninggalkanku sendiri, menua dan merana. Sang Waktu dengan kejam menghempaskan aku pada kenyataan yang tak kumengerti, tak kupahami, tapi tetap harus juga kuhadapi.

Aku menagis, meraung, memelas, tapi Sang Waktu tak juga peduli. Dia tetap berlalu. Terus berlalu. Meninggalkan jejak kenangan yang kadang manis, sangat manis. Tapi terkadang teramat pahit dan terus kutangisi.

Dulu aku sangat bahagia. Teramat bahagia sampai tak kumengerti lagi arti bahagia yang seutuhnya. Dan Sang Waktu perlahan tapi pasti memutar roda kehidupanku menjadi sangat pahit dan penuh derita hingga tak kumengerti arti derita yang sebenarnya.

Aku berlari. Terus berlari. Mengejar Sang Waktu. Tapi akhirnya aku tersesat. Entah di mana. Aku terperosok jauh ke dalam jurang kehidupan. Gelap. Semuanya gelap. Akhirnya tak kumengerti siapa diriku sesungguhnya.

Aku bukan diriku yang dulu. Kebenaran itu tak terbantahkan. Aku sudah teramat jauh berbeda. Aku sudah terlalu asing untuk diriku sendiri. Tubuh yang sama dengan jiwa yang berbeda. Itulah diriku saat ini. Saat ini? Kapankah sebenarnya saat ini? Ah, entahlah. Sang Waktu sudah terlalu jauh berlari hingga aku tak lagi peduli.

“Gabrielle!!! Sudah jam berapa ini??? Sudah waktunya pergi kerja.”

“Ya, Bu.”

“Jangan lupa matikan komputernya! Apa sih yang kau lakukan? Duduk di depan komputer selama berjam-jam.”Aku mengsave cerpen yang sedang aku ketik dan mengturn off komputerku. Lalu mengambil tasku dan segera meluncur ke bawah sebelum nenek sihir itu meneriakiku lagi.

By the way, aku Gabrielle. Dan yang tadi berteriak adalah Stella, my step mom. Ayah menikahinya saat umurku tujuh tahun, dua tahun setelah ibuku meninggal. Ayah sendiri meninggal tiga tahun lalu. Sebenarnya ayah meninggalkan sejumlah uang untukku. Sayangnya dalam bentuk deposito dan baru akan bisa dicairkan saat umurku genap delapan belas tahun. Yang artinya masih satu tahun, delapan bulan, dan lima belas hari lagi dari sekarang.

Jadi, sampai saat itu tiba aku menjadi budak ibu tiriku dan kedua anaknya. Tiap sore, termasuk Sabtu dan Minggu, aku bekerja di restoran Cutie Kitchen, yang entah bagaimana bisa jatuh ke tangan ibu tiriku itu dan karenanya berganti nama menjadi Stella’s Food and Drink. Sebagai imbalannya, aku tetap bisa sekolah, dan menerima sedikit gaji untuk uang jajan.

Oleh karena itu, secara diam-diam aku mengirimkan cerpen hasil karyaku. Dengan nama samaran tentunya. Beberapa cerpenku sudah ada yang dimuat di majalah, jadi aku punya penghasilan tambahan.

Dua saudara tiri kembarku, Rachel dan Rihana sama kejamnya dengan ibu mereka. Mereka senang sekali menyiksaku. Entah dengan menyuruhku mengerjakan tugas sekolah, mencuci mobil, atau mengerjakan banyak hal nggak penting lainnya untuk mereka. Cinderella did it again! Menjadi upik abu di rumah yang seharusnya menjadi miliknya.

“Apa kau sudah dengar? Ada anak baru pindahan dari Inggris, “ kata Tiara, sahabatku sejak kecil.

“Oh, ya? Aku belum dengar. Di kelas mana?”

“Kelas kita.” Aku mengedarkan pandanganku ke semua penjuru kelas.

“Aku nggak melihatnya.”

“Dia masih di ruang Kepala Sekolah, kan?” Tiara mengerlingkan matanya.

“Sure, “ jawabku ketus.

“Ada apa? Si kembar jelek mengerjaimu lagi?”

“Begitulah.”

“Apa yang mereka lakukan kali ini?”

“Mereka “nggak” sengaja menumpahkan saus di gaun yang akan aku pakai ke pesta topeng.”

“Apa?” Tiara berdiri dan membuat aku harus mendongkak.

“Apa aku perlu menghajar mereka?” Aku menghembuskan nafas.

“Tidak perlu. Aku sendiri yang akan menghajar mereka saat uang warisanku cair. Lalu aku akan segera meninggalkan rumah dan hidup mandiri.”

“Tapi itu kan baru akan terjadi satu tahun, delapan bulan, dan dua belas hari dari sekarang. Lagipula aku juga nggak mengerti kenapa rumah dan restoran di wariskan ayahmu pada Stella.”

“Aku juga sama sekali nggak tahu. I have no idea about that.. Tapi, sampai uang warisanku cair, aku harus bertahan menghadapi si kembar jelek. Atau aku akan kehilangan kesempatan untuk sekolah. No school, no money. That is really bad.”

“Kau ini, kasihan sekali.”

Ya, aku ini sungguh kasihan. Aku harus mengumpulkan banyak uang untuk membeli gaun itu. Gaun putih cantik yang seharusnya aku pakai di pesta topeng yang akan diselenggarakan di sekolah kurang dari sebulan lagi. Sekarang gaun itu hanya akan jadi pengingat betapa kejamannya si kembar jelek padaku.

Menyesal aku tidak segera menitipkan gaun itu di rumah Tiara. Aku benar-benar syok berat saat pulang kerja dan melihat salah satu dari si kembar memakai gaun itu sementara yang lainnya memegang sepiring spagetti dengan banyak saus di atasnya. Sebelum itu terjadi pun, aku tahu apa yang akan dilakukan si kembar. Menumpahkan semua isi piring itu di gaunku!

Aku ingin menjambak rambut si kembar dan membenamkan kepala mereka ke dalam semangkuk besar spagetti yang aku lihat di meja makan sebelum aku naik ke kamarku. Tapi nggak mungkin aku lakukan karena Stella akan dengan senang hati menemukan alasan untuk memotong habis gajiku. Plus aku nggak akan diijinkan datang ke pesta topeng dan banyak hukuman lainnya.

Aku sudah mencoba mengilangkan noda saus itu dari gaunku. Aku segera merendamnya di deterjen begitu si kembar jelek mengembalikan gaun itu. Aku juga sudah menyikat nodanya. Tapi semua usahaku sia-sia. Usaha lain untuk mengilangkan noda itu hanya akan membuat gaunku benar-benar rusak. Intinya, si kembar sudah berhasil membuat gaun itu benar-benar tidak bisa aku pakai.

“Selamat pagi, anak-anak! Hari ini kita kedatangan murid baru. Silahkan perkenalkan dirimu!”

“Halo, aku Justin. Aku pindahan dari Inggris. Salam kenal semuanya.”

Aku memandang dengan takjub cowok yang baru saja memperkenalkan diri itu. Oh, My God! Believe me! Cowok ini ganteng banget. Nggak salah namanya Justin karena wajahnya seperti pinang dipelah dua dengan JT a.k.a. Justin Timberlake! Ditambah kulit putih bersih, mata setajam elang, dan postur tubuh yang proposional, he is more than just good looking. He is perfecto. Apalagi senyumnya. Bikin jantung semua cewek berhenti berdetak.

“Ganteng banget, ya?!” kata Tiara, membuyarkan lamunanku.

“Ehm?”

“Wah, kayaknya ada yang terpesona, nih.” Aku tersenyum.

“Ya, anak-anak. Ayo, kita mulai pelajarannya.”

Pelajaran pertama kami hari ini adalah sejarah dan berlangsung sama membosankannya dengan sebelumnya. Guru kami ini nggak pernah menyadari kalau caranya menyampaikan pelajaran bisa membuat semua anak mengantuk hanya dalam waktu sepuluh menit. Luna saja yang juara kelas hanya tahan mendengarkan setengah jam pertama sebelum akhirnya sibuk menggambar di buku catatannya.

“Apa di kelas ini nggak ada yang suka pelajaran sejarah?” tanya suara di belakangku.

“Aku lihat semua orang sibuk sendiri dan nggak ada yang memperhatikan pelajaran,” sambungnya.

“Bukannya nggak suka pelajaran sejarah. Hanya saja guru kami itu benar-benar membosankan. Orang yang nggak bisa tidur saja, bisa terbius dalam waktu maksimal setengah jam,” jawabku sambil menengok. Ingin tahu siapa yang baru saja bertanya.

“Waw, dijelaskan dengan singkat, padat, dan jelas.” Aku membelalakan mata melihat cowok yang tersenyum di hadapanku. Oh, My God! Ternyata yang bertanya barusan nggak lain dan nggak bukan adalah Si Ganteng Justin Timberlake.

Aku tersenyum untuk menutupi keterkejutanku. Padahal jantungku rasanya sudah mau loncat. Aku pastinya sangat terpesona sama cowok satu ini sampai-sampai nggak menyadari kalau dia duduk di belakngku. He-em, dunia rasanya lebih indah hari ini. Cuaca begitu cerah. Dan udara begitu sejuk.

“Dasar penulis. Semua hal dilukiskan dengan kata-kata puitis,” kata Tiara seolah bisa membaca pikiranku. Aku menoleh padanya dan menatapnya dengan pandangan sangar.

“Apa maksudmu?”

“Dalam pikiranmu kau pasti sedang berkata dunia ini sangat indah, dan bunga-bunga bermekaran, dan hal-hal lain semacam itu, kan?” tanyanya sambil mengerling ke arah Justin.

“Diam kau!”

“Meja tiga pesan dua steak dan dua orange juice,” kataku pada Nancy.

“Baik.”

“So, apa yang akan kamu pakai saat pesta topeng nanti?” tanya Tiara.

“Entahlah.”

“Apa yang terjadi, Sayang? Bukankah kau sudah membeli gaun yang kau inginkan itu?” tanya Bibi Clarisa, pelayan senior di restoran ini sekaligus pelindungku dari gangguan Stella.

“Si kembar jelek ‘nggak’ sengaja menumpahkan saus di gaun itu,” jawab Tiara, kesal. Bibi Clarisa membelalakan matanya padaku.

“Ya. Begitulah,” kataku sambil mengangkat bahu.

“Keterlaluan sekali. Biar aku hajar mereka berdua!!!” kata Bibi Clarisa berapi-api.

“Sudahlah, Bibi Cla. Tidak ada gunanya. Stella hanya akan menghukum Bibi dan aku kalau Bibi melakukan itu.”

“Yah, kau benar. Wanita itu memang seperti nenek sihir.”

“Dia nggak hanya seperti nenek sihir, tapi dia memang nenek sihir.”

“Gabby, lihat siapa yang datang!” Aku memutar badan ke arah pintu masuk dan terhenyak. Justin datang bersama Marissa and the Genk! Sejak kedatangan Justin ke sekolah kami, memang banyak cewek yang secara terang-terangan mengejarnya. Dan salah satunya adalah Marissa. Tapi karena statusnya sebagai cewek terpopuler, mudah saja baginya menyingkirkan para pesaingnya dan menggaet Justin. Ini sudah lebih dari dua minggu sejak dia pindah, tapi yang bisa aku katakan hanyalah ‘Halo’, ‘Apa kabar’, dan teman-temannya. Kami nggak pernah lagi terlibat dalam perbincangan selain yang terjadi di hari pertamanya dulu.

“Hallo, Gabby!” sapa Justin sambil tersenyum.

“Hallo! Kalian mau pesan apa?”

“Kami mau pesan makanan rendah lemak. Ada?” Aku menarik nafas.

“Tentu saja. Kau kan bisa pesan salad, Marissa. Itu jelas rendah lemak.”

“Baiklah. Aku pesan itu. Dan orange juice juga.”

“Segera diantarkan.” Aku segera berlalu dari hadapan mereka sebelum memuntahkan semua isi perutku saking sebalnya sama kelakuan Marissa.

“Menyebalkan sekali,” kataku.

“Yah. Sudah pasti itu sangat menyebalkan.”

“Huh. Aku harus pakai apa saat pesta topeng nanti? Padahal acaranya tinggal seminggu lagi.”

“Tenanglah. Kita pasti akan menemukan gaun untukmu. Bagaimana kalau besok ke rumahku. Kita cari gaun-gaun kakakku yang sudah nggak terpakai.”

“Yah. Itu ide bagus. Baiklah.”

“Ayo. Bersemangatlah!” Aku tersenyum. Meskipun hidup berkecukupan, Tiara bukanlah berasal dari kalangan jet set. Dia punya dua orang kakak dan seorang adik, jadi dia nggak bisa hidup bermewah-mewahan. Oleh sebab itu, aku nggak ingin membuatnya bertambah repot dengan masalahku yang sepele ini. Karena selama ini dia sudah banyak sekali membantuku.

Semangatku untuk ikut serta dalam pesta topeng sudah nyaris hilang setelah keesokan harinya aku nggak menemukan satu gaunpun yang bisa aku pakai. Ukuran tubuh dua kakak Tiara berbeda denganku. Tentu saja. Aku hampir sepuluh senti lebih tinggi dari mereka berdua. Sehingga badanku juga lebih lebar. Makanya, nggak satupun gaun mereka yang muat di badanku.

Tapi berkat dukungan Tiara dan Bibi Cla, masih ada sedikit semangat yang membara dalam hatiku. hanya saja semangat itu benar-benar padam saat malam pesta topeng itu benar-benar tiba. Selain nggak punya gaun untuk kupakai, si nenek sihir kembali beraksi.

“Aku dengar kau tidak mendapatkan gaun untuk kau pakai malam ini?” tanyanya.

“Ya . Itu benar, “ jawabku ketus.

“Tapi aku tetap akan pergi pesta topeng bagaimanapun caranya. Termasuk jika aku harus menyewa kostum,” sambungku, menantang. Stella tersenyum sinis.

“Aku minta maaf. Tapi sepertinya aku mengubah keputusanku.”

“Apa maksudnya itu?”

“Aku melarang kau pergi walaupun kau mendapatkan gaun untuk kau pakai.”

“Apa? Tapi kau sudah berjanji akan mengijikanku pergi.”

“Sudah kubilang aku berubah pikiran. Jadi jangan coba membantah atau kau akan merasakan akibatnya.” Aku berbalik dan meninggalkan Stella dengan kesal.

“Aku harus pergi ke jamuan makan malam di rumah Elissa. Tapi aku akan kembali jam dua belas malam. Dan aku ingin kau ada di sini. Ingat itu! Bekerjalah dengan baik, Gabrielle!” teriaknya, lalu tertawa sambil berlalu.

“Menyebalkan,” gerutuku.

“Pergilah.”

“Tidak bisa Bibi Cla. Lagipula percuma. Aku nggak punya gaun.”

“Ayo, ikut aku!”

“Kemana?”

“Ikut saja! Nancy, kami pergi dulu.”

“Pergilah. Kami semua mendukungmu. Semoga berhasil, Gabby.”

“Terima kasih, Nancy. Terima kasih semuanya.”

Aku mengikuti Bibi Cla yang ternyata membawa aku ke rumahnya. Dia masuk ke kamarnya sementara aku menunggu di ruang keluarga yang meskipun kecil, tapi hangat dan nyaman. Satu menit kemudian, Bibi Cla datang dengan membawa kotak putih berukurang besar. Yang ternyata berisi sebuah gaun berwarna pink.

“Gaun ini aku belikan untuk anakku, tapi dia meninggal sebelum sempat memakainya. Cobalah!”

“Tapi Bibi Cla, gaun ini pasti sangat berharga untuk Bibi.”

“Kau juga sangat berharga untukku, Sayang. Kau sudah seperti anakku sendiri. Aku rasa anakku juga tidak akan keberatan kalau kau memakai gaun ini. Sudah cepat pakailah! Kau, kan, tidak punya banyak waktu. Aku akan menelepon Tiara dan menuyuruhnya menjemputmu di sini.”

“Terima kasih Bibi Cla.” Aku segera memakai gaun yang diberi Bibi Cla. Dan ternyata gaun itu sangat pas di badanku. Segera saja aku tahu kalau ternyata Bibi Cla mahir mendandani orang. Aku takjub melihat diriku di cermin. Gaun ini ditambah dengan topengnya membuat aku tampak seperti Cinderella yang akan menghadiri pesta dansa di istana Sang Pangeran.

So, Will Cinderella do it again? Mencuri hati Sang Pangeran dan hidup bahagia selamanya? Well, this is just another Cinderella story. So, walaupun Gabrielle hidup menderita, pada akhirnya dia menemukan cinta sejatinya dan hidup bahagia selamanya. So, find your own happiness! Jika kau tidak juga menemukannya, just make it! Make your own happiness!

P.S. Saat usianya genap delapan belas tahun, Gabrielle mendapatkan warisannya. Bukan hanya itu. Dua hari setelahnya semua warisan termasuk rumah dan restoran jatuh ke tangannya karena Stella terbukti melakukan pemalsuan surat wasiat setelah seorang pelayan nggak sengaja menemukan surat wasiat yang asli saat sedang bersih-bersih di perpustakaan. Atas kebaikan Gabby, Stella hanya menjalani tahanan luar. Sekarang, dia dan si kembar jelek bekerja sebagai pelayan di restoran yang kini kembali bernama Cutie Kitchen. Gabby dan Justin juga sudah berkencan sejak dua bulan lalu dan memutuskan kuliah di universitas yang sama.

THE END

Sunday, August 30, 2009

Boys Before Flower : Tamat!!!

Wah...nggak kerasa Boys Before Flowers sudah memasuki episode terakhir besok...
Bakalan kangen, deh, sama cowok-cowok F4 yang ganteng-ganteng abiz itu...
Semoga saja Indosiar nayangin serial lain dari cowok-cowok F4, misalnya saja Dream-nya Kim Bum...
Tapi, kok, episode F4 special interviewnya nggak ada ya???

Cerita Episode Terakhir :
  • Jun Pyo yang hilang ingatan dimanfaatin habis-habisan sama Yu-mi.
  • Jun-pyo dan Yu-mi mengadakan pesta sekaligus mengumumkan kalau mereka akan pergi kuliah ke Amerika. Yu-mi juga minta maaf pada Jan-di karena tidak bisa menolong Jan-di mengembalikan ingatan Jun-pyo seperti yang dia janjikan. Dia juga bilang kalau dia menyukai Jun-pyo.
  • Pesta ini menjadi malapetaka buat Yu-mi karena Jan-di yang sudah hampir putus asa melakukan usaha terakhir: mengembalikan kalung bulan-bintang pada Jun-pyo, dan ketika Jun-pyo menyuruhnya membuang sendiri kalung itu, Jan-di melemparkannya ke kolam dan akhirnya menceburkan dirinya sendiri.
  • Jun-pyo akhirnya sadar dan ingat pada Jan-di. Dia menyelamatkan Jan-di yang tenggelam setelah sebelumnya meneriakkan nama Jan-di, sesuai harapan Jan-di. Jun-pyo juga meminta maaf, dan Jan-di memintanya menyebut nama Jan-di sekali lagi.
  • Tebak siapa pasangan dansa Jan-di di pesta kelulusan, F3!!!
  • Pada saat kelulusan Jan-di, mereka bertemu di tempat kencan pertama mereka. Di kereta gantung, Jun-pyo meminta Jan-di menikah dengannya karena dia akan pergi ke Amerika selama 4 tahun, tapi Jan-di menolak.
  • Jan-di bilang dia akan mempertimbangkan lagi lamaran Jun-pyo saat Jun-pyo kembali, tapi dengan satu syarat, saat itu Jun-pyo harus sudah menjadi pria hebat.
  • 4 tahun kemudian : Jan-di menjadi mahasiswa Kedokteran di Universtas Shinhwa. Begitu juga Ji-hoo.
  • Yi-jeong pulang dan menepati janjinya, menemui Ga-Eul.
  • Jun-pyo pulang dan membuktikan pada Jan-di dia sudah menjadi pria hebat. Kemudian melamarnya sekali lagi..

Boys Before Flowers: Jan-di and Jun-pyo Romantic Scene

Tuesday, August 25, 2009

Melupakanmu

Na

“Untuk terakhir kali, kulantunkan namamu bersama dengan hembusan nafasku. Lalu, aku akan pergi. Pergi dari cintamu selamanya”

Aku begitu mencintaimu, hingga aku lupa bagaimana seharusnya mencintai. Aku begitu merindukanmu, hingga aku lupa bagaimana seharusnya merindukan. Aku begitu mengharapkanmu, hingga aku lupa bagaimana seharusnya mengharapkan. Aku lupa bahwa ada hal yang tidak akan pernah bisa aku miliki walau aku sudah menunggu dengan sabar.

Perasaanku tak kusangka begitu dalam padamu. Hingga saat kau menutup pintu hatimu yang bahkan belum sempat aku ketuk, aku begitu terluka hingga tak dapat kumengerti apa arti luka yang sesungguhnya.

Kau melukaiku. Kau menyakitiku. Kau membuat aku menderita. Tapi entah kenapa begitu sulit bagiku melupakanmu. Meninggalkan cinta yang sudah hancur dan tersia-sia. Aku tak pernah bisa membencimu. Tak pernah bisa berpaling darimu. Tak pernah bisa berhenti mencintaimu.

Tapi, sudah terlalu lama cinta ini menyakitiku. Sudah terlalu lama rindu ini melukaiku. Maka, aku harus berhenti. Berhenti mencintaimu. Berhenti merindukanmu. Berhenti berharap kau dan aku akan berada dalam satu cerita yang sama.

Sejak awal aku sudah tahu kita memilih jalan yang berbeda. Tapi aku selalu berharap kau akan berhenti dan menoleh. Menyadari arti penting diriku bagimu, lalu kau akan berbalik dan mengejarku. Tapi itu tak pernah terjadi. Kau terus berjalan. Hanya aku yang masih terus termangu. Memandangi punggungmu yang kian menjauh.

Tapi semua itu kini telah usai. Perlu bertahun-tahun memang, hingga kusadari yang kupandangi hanyalah kehampaan. Terlalu bodoh memang, apa yang selama ini kulakukan. Tapi biarlah. Biarkan saja waktu yang tersia-sia menjadi pijakan hatiku. Menjadi keyakinan untukku bahwa cintaku padamu memang telah usai. Bahwa tidak akan lagi kubiarkan kau melukai hatiku. Bahwa tak akan pernah lagi kubuka pintu hatiku untuk cinta yang mungkin akan kau tawarkan.

Kini, kubiarkan cerita antara kau dan aku hanyut ke luasnya samudera kenangan. Kubiarkan cinta remaja ini mati tertelan usiaku yang semakin dewasa. Dan akan kubiarkan cinta yang lain mengetuk pintu hatiku. Cinta yang tulus dan tak menyakiti. Cinta yang memang untukku.

Maka aku tak akan lagi terluka oleh penantian. Tak akan lagi menderita karena pengharapan. Tak akan lagi tersiksa karena kerinduan. Dan tak akan lagi berkubang dalam penderitaan. Karena sudah kutetapkan hatiku untuk berhenti mencintaimu.

Ndaw

“Tak kan lagi kucari dirimu. Tak kan lagi kunanti cintamu. Biarlah semua hal tentangmu aku simpan dalam sebuah kotak kenangan yang kukubur jauh di dasar hatiku”

Perasaanku padamu menyiksa batinku setiap harinya. Membuat luka yang kau tinggalkan tak pernah bisa kering. Tapi entah mengapa begitu sulit bagiku melupakanmu. Begitu berat bagiku melepaskanmu pergi. Merelakan semua kenangan kita melebur menjadi abu.

Padahal kau begitu kejam menghapus jejak kenangan yang aku tinggalkan di hidupmu. Padahal kau begitu kejam membiarkan aku menangisimu. Padahal kau begitu kejam mengacuhkanku. Kau membisu. Terus membisu. Tapi kebisuanmu mengatakan segalanya.

Aku sunguh ingin kau tahu bahwa perasaanku padamu sungguh cinta. Bukan hanya keinginan untuk memiliki. Aku memang berharap memilikimu, tapi jika cinta lain yang kau pilih, maka akan kubiarkan kau berlari mengejarnya. Sungguh. Bukan seperti ini yang aku harapkan terjadi. Bukan kebisuanmu yang aku harapkan sebagai jawaban dari cintaku.

Kenapa? Apa salah kalau aku mencintaimu? Kenapa kau menjauh? Apa kau menganggap ini sebagai penghianatan atas persahabatan kita? Aku sungguh tak mengerti denganmu. Aku tak mengerti kenapa cinta yang aku rasakan padamu menjerumuskan aku ke dalam jurang penderitaan.

Tapi semua telah berlalu. Karena semua harus berakhir. Penderitaanku, harapanku, rinduku, rasa cintaku padamu, harus berakhir. Aku sudah dewasa sekarang. Maka sudah waktunya melepaskan cinta remaja yang tak pernah kugenggam. Sudah waktunya aku menyadari tahun-tahun yang tersia karena terus terbelenggu dalam mimpi tentangmu.

Karena ternyata, di batas sadarku aku sudah melupakanmu. Tapi, rasa sakit membuat hatiku terikat padamu walau hanya oleh benang yang teramat tipis. Maka inilah saatnya aku benar-benar memutuskan benang itu dan membiarkan kenangan tentangmu berlayar ke samudera dan terlupa.

Aku tak kuasa mengejarmu, maka sudah waktunya aku membiarkanmu pergi. Pergi dan berbahagialah. Dan kupastikan aku akan bahagia melihat kau bahagia. Hanya satu hal yang selalu akan kuharapkan. Kau akan menoleh dan menyadari aku masih menunggumu. Sebagai sahabat. Maka, tersenyumlah bila kita bertemu di ujung mimpi. Agar semua sesal akan hilang jika kita berpisah di ujung waktu.

Uwie

“Jika cintamu tak kan pernah bisa kugenggam, maka akan kubiarkan dia pergi mencari pelabuhan yang memang untuknya. Dan akan kucari pelabuhan lain untuk cintaku berlabuh”

Aku tak pernah mengerti apa yang kau rasakan padaku. Bila itu adalah cinta, mengapa tak pernah kau ungkapkan? Bila itu hanya pertemanan, kenapa ada getar lain yang kurasakan dari perhatianmu? Getaran yang sama yang aku rasakan padamu.

Haruskah kukatakan aku cinta padamu? Tak bisa. Aku tak sanggup. Tak kan pernah sanggup mengatakannya. Aku berharap kaulah yang mengatakannya lebih dulu. Aku menunggu. Akan terus menunggu jika kau memang butuh waktu untuk mengerti perasaanmu sendiri. Tapi kau mengecewakanku. Sangat membuatku kecewa.

Kau datang padaku dengan membawa kisah-kisah cintamu yang lain. Kisah-kisah cinta dimana aku tak pernah ada di dalamnya. Kau menceritakan semua kisah itu seolah aku hanya temanmu. Seolah tak pernah kurasakan getaran hatimu dan tak pernah kau rasakan getaran hatiku. Ataukah memang kau tak merasakan getaran hatiku? Dan tak tahukah kau aku merasakan getaran hatimu? Setelah apa yang terjadi di antara kita, aku yakin kau tahu. Tapi aku sungguh tidak mengerti dengan dirimu yang seperti ini.

Yang aku tahu hatiku begitu sakit menerima kenyataan ini. Kenyataan bahwa kau bisa mengerti aku. Kau bisa membaca isi hatiku. tapi tak peduli perasaanku. Kenapa harus kau ceritakan kisah cintamu padaku? Sementara aku menunggumu menarikku masuk ke dalam hidupmu. Menunggumu mengenggam tanganku agar kita bisa membuat kisah cinta bersama. Kisah cinta yang sama. Dimana ada kau dan aku di dalamnya.

Tapi segalanya harus usai, kan?! Jika memang kau tak bisa menetapkan hatimu untukku, maka akupun harus memutuskan untuk berhenti menunggumu. Jika cintamu memang tak kan pernah berlabuh di hatiku, maka akupun harus mencari hati yang lain untuk cintaku berlabuh.

Dengan begitu aku akan bisa mengakhiri kisah yang memang tak pernah dimulai ini. Dengan begitu aku akan bisa mengakhiri penderitaan ini dan memulai kisahku sendiri. Dan dengan begitu aku akan bisa melupakanmu. Selamanya.

Good Bye, My Love...

Sunday, July 26, 2009

Harry Potter and The Half-Blood Prince


Senangnya hatiku karena aku sudah nonton Harry Potter and the Half-Blood Prince. Serial ini punya makna yang luar biasa banget buat aku karena aku tumbuh bersamanya. Nggak terasa banget sudah delapan tahun berlalu sejak film pertamanya Harry Potter and the Sorcerer’s Stone menghebohkan dunia. Dan hingga kini tiga serangkai Harry, Ron, dan Hermione masih menyihir dunia dan menjadi tontonan yang layak ditunggu.
Balik lagi ke film HP6, sebenarnya sulit dihindarkan adanya ketidakpuasan dalam menilai film ini maupun film-film HP sebelumnya. Karena kenyataannya memang sulit membuat film yang sesuai dengan bukunya. Jadi memang harus dimaklumi kalau ada adegan yang berbeda atau bahkan tidak ada.
Begitu juga di HP6 ini. Walaupun tidak mungkin lebih buruk dari HP5 yang memotong jalan cerita habis-habisan, ada beberapa adegan yang kurang greget di film ini. Diantaranya pertempuran di menara astronomi yang kurang seru karena tidak diikuti dengan pertempuran antara Orde Phoenix melawan Pelahap Maut seperti di buku. Dilema cinta Ron-Hermione-Lavender dan Harry-Ginny juga sedikit nanggung. Tapi adegan Quidditchnya keren, walaupun keterlibatan Harry sangat minim kali ini. Juga adegan saat semua orang mengangkat tongkat ke langit untuk menghapus Tanda Kegelapan yang dibuat Bellatrix pasca kematian Dumbledore dengan Harry yang dipeluk Ginny sedang menangisi Dumbledore di pusatnya cukup mengharukan. Kalau saja dilanjutkan dengan pemakaman Dumbledore yang diceritakan begitu menyedihkan tapi juga indah di buku, pasti akan terjadi banjir air mata.
Well, bagaimanapun ini film yang sangat luar biasa dengan visual efek yang keren. Membuat aku jadi tidak sabar menunggu HP7 yang dibuat dua bagian dan rencananya diputar tanggal 21 November 2010 dan 15 Juli 2011. Karena film ke7 dibuat dua bagian, kita boleh berharap tidak akan ada terlalu banyak perbedaan anatra film dan bukunya. Bagaimanapun film ke7 ini akan jadi penutup film Harry Potter, jadi tentunya harus menjadi yang terbaik dan tak terlupakan. Semoga saja.

Boys Before Flowers This Week


Acara ulang tahun Gu Jun Pyo benar-benar menjadi bencana buat Geum Jan Di apalagi setelah Jun Pyo kabur dengan membawa orang yang salah. Jun Pyo yang bermaksud menggandeng Jan Di malah nggak sengaja membawa Ha Jae Kyung, tunangannya. Nggak hanya Jan Di yang dibuat shock berat dengan kejadian ini, tapi juga anggota F4 lain dan Ga Eul.
Jun Pyo yang akhirnya pulang ke rumah Ji Hoo untuk menenangkan diri mendapat surprice berupa kado boneka berambut ikal dari Jan Di yang nggak sengaja tertinggal di mobil Ji Hoo, adegan ini mengingatkan kita pada adegan coklat valentine yang juga menjadikan Ji Hoo sebagai perantara Jun Pyo-Jan Di.
Jan Di yang stok berat dengan pertunangan Jun Pyo-Jae Kyung, makin syok dengan kedatangan Jae Kyung yang ingin bersahabat dengannya. Dia mengajak Jan Di dan Ga Eul jalan-jalan dan bahkan menginap di rumah Jan Di. Lagi-lagi kita diingatkan pada adegan saat Jun Pyo menginap di rumah Jan Di.
Yamh jadi masalah Jae Kyung dengan terbuka mengatakan dia menyukai Jun Pyo dan meminta Jan Di menjadi konsultasi kencannya. Jelas saja ini membuat Jan Di berada dalam dilema besar. Apalagi Jae Kyung juga rajin menemui Jun Pyo di sekolah Shinhwa. Untuk mengindari berada di tempat yang sama denagn Jun Pyo dan Jae Kyung, akhirnya Jan Di mengajak Ji Hoo ke klinik tempatnya bekerja. Hanya saja ternyata klinik itu adalah klinikm kakek Ji Hoo. Ji Hoo yang syok berat bertemu kembali dengan kakeknya setelah kecelakaan orang tuanya lima belas tahun lalu akhirnya malah melarikan diri.
Karena prihatin dengan kisah cinta Jun Pyo-Jan Di yang berada di ambang kehancuran, akhirnya So Yi Jung dan Song Wo Bin melaksanakn ide gila untuk menarik perhatian Jae Kyung. Mereka pikir dengan predikat mereka sebagai playboy, rencana ini akan berhasil. Ternyata gagal total. Yang ada mereka malah dikerjai habis-habisan oleh Jae Kyung. Tapi mereka punya rencana lain, yaitu Yi Jung dan Ga Eul pura-pura kencan! Rencana ini berhasil membuat Jan Di kalang kabut dan meminta bantuan Jun Pyo memata-matai mereka. Walaupun rencana ini sukses membuat Jan Di dan Jun Pyo berada dalam situasi romantis yang hampir menhanyutkan mereka berdua, kedatangan ibunya Jun Pyo menghancurkan segalanya. Bahkan Jan Di hampir saja ditampar olehnya kalau saja tangan si nenek sihir tidak ditahan Jun Pyo. Yah, sepertinya kisah cinta Jun Pyo-Jan Di akan suram dalam beberapa episode ke depan. Hiks...hiks...hiks.

Sang Waktu

Sang Waktu dengan kejam berlalu meninggalkanku sendiri, menua, dan merana. Sang Waktu dengan kejam menghempaskan aku pada kenyataan yang tak kumengerti, tak kupahami, tapi tetap juga harus kuhadapi.
Aku menangis, meraung, memelas, tapi Sang Waktu tak juga peduli. Dia tetap berlalu. Terus berlalu. Meninggalkan jejak kenangan yang kadang manis, sangat manis, tapi terkadang teramat pahit dan terus kutangisi.
Dulu aku sangat bahagia. Teramat bahagia sampai tak kumengerti lagi arti bahagia yang seutuhnya. Dan Sang Waktu perlahan tapi pasti memutar roda kehidupanku menjadi sangat pahit dan penuh derita hingga tak kumengerti arti derita yang sebenarnya.
Aku berlari. Terus berlari mengejar Sang Waktu. Tapi akhirnya aku tersesat entah di mana. Aku terperosok jauh ke dalam jurang kehidupan. Gelap. Semuanya gelap. Akhirnya tak bisa kumengerti siapa diriku sesungguhnya.
Aku bukan diriku yang dulu. Kebenaran itu tak terbantahkan. Aku sudah teramat jauh berbeda. Aku sudah terlalu asing untuk diriku sendiri. Tubuh yang sama dengan jiwa yang berbeda. Itulah diriku saat ini. Saat ini? Kapankah sebenarnya saat ini? Ah, entahlah. Sang Waktu sudah terlalu jauh berlari hingga aku tak lagi peduli.
Aku terbiasa merasakan cinta, kasih sayang, kehangatan. Kugenggam dunia dalam tanganku. Kuperintahkan semesta berputar hanya untukku. Tapi itu dulu. Dulu sekali. Hingga Sang Waktu menampakkan seringai jahatnya. Menggambil segala hal yang aku punya, kugenggam. Sang Waktu menghempaskan aku di ruang yang sunyi, sepi, dingin, dan gelap. Tak lagi bisa kulihat kerlip bintang yang tersenyum. Matahari yang hangat menyapa. Rembulan yang setia membias keperakan di tengah gelapnya malam.
Duniaku runtuh. Hancur. Diluluhlantakkan Sang Waktu. Aku mencoba bangkit. Mengais puing-puing dari duniaku yang indah. Tapi Sang Waktu tak juga puas menyiksaku. Aku kembali terhempas. Duniaku tak lagi indah. Kini yang aku punya hanyalah dunia yang sepi dan hening.
Hening? Apa itu hening? Ah, entahlah. Aku tak peduli. Aku hanya tahu semua ini akan berakhir. Entah kapan. Tapi pasti berakhir. Suatu saat nanti Sang Waktu akan bosan bermain-main denganku.
Ya. Suatu saat nanti hidupku akan berakhir hingga Sang Waktu tak bisa lagi meninggalkan jejaknya. Aku hanya harus menunggu sampai saat itu tiba. Menunggu? Sudah berapa lamakah aku menunggu? Dan berapa lama lagikah aku harus menunggu? Entahlah. Aku juga tak mau peduli.
Sang Waktu terus saja berputar. Tapi aku sama sekali tak beranjak. Aku terbelenggu. Oleh sesuatu yang bahkan aku tak tahu. Aku hanya melihat seorang gadis kecil tersenyum setiap kali aku menoleh. Sedangkan di depan sana, yang kulihat hanyalah kegelapan.