Saturday, October 17, 2009

Cinderella Did It Again

Sang Waktu dengan kejam berlalu meninggalkanku sendiri, menua dan merana. Sang Waktu dengan kejam menghempaskan aku pada kenyataan yang tak kumengerti, tak kupahami, tapi tetap harus juga kuhadapi.

Aku menagis, meraung, memelas, tapi Sang Waktu tak juga peduli. Dia tetap berlalu. Terus berlalu. Meninggalkan jejak kenangan yang kadang manis, sangat manis. Tapi terkadang teramat pahit dan terus kutangisi.

Dulu aku sangat bahagia. Teramat bahagia sampai tak kumengerti lagi arti bahagia yang seutuhnya. Dan Sang Waktu perlahan tapi pasti memutar roda kehidupanku menjadi sangat pahit dan penuh derita hingga tak kumengerti arti derita yang sebenarnya.

Aku berlari. Terus berlari. Mengejar Sang Waktu. Tapi akhirnya aku tersesat. Entah di mana. Aku terperosok jauh ke dalam jurang kehidupan. Gelap. Semuanya gelap. Akhirnya tak kumengerti siapa diriku sesungguhnya.

Aku bukan diriku yang dulu. Kebenaran itu tak terbantahkan. Aku sudah teramat jauh berbeda. Aku sudah terlalu asing untuk diriku sendiri. Tubuh yang sama dengan jiwa yang berbeda. Itulah diriku saat ini. Saat ini? Kapankah sebenarnya saat ini? Ah, entahlah. Sang Waktu sudah terlalu jauh berlari hingga aku tak lagi peduli.

“Gabrielle!!! Sudah jam berapa ini??? Sudah waktunya pergi kerja.”

“Ya, Bu.”

“Jangan lupa matikan komputernya! Apa sih yang kau lakukan? Duduk di depan komputer selama berjam-jam.”Aku mengsave cerpen yang sedang aku ketik dan mengturn off komputerku. Lalu mengambil tasku dan segera meluncur ke bawah sebelum nenek sihir itu meneriakiku lagi.

By the way, aku Gabrielle. Dan yang tadi berteriak adalah Stella, my step mom. Ayah menikahinya saat umurku tujuh tahun, dua tahun setelah ibuku meninggal. Ayah sendiri meninggal tiga tahun lalu. Sebenarnya ayah meninggalkan sejumlah uang untukku. Sayangnya dalam bentuk deposito dan baru akan bisa dicairkan saat umurku genap delapan belas tahun. Yang artinya masih satu tahun, delapan bulan, dan lima belas hari lagi dari sekarang.

Jadi, sampai saat itu tiba aku menjadi budak ibu tiriku dan kedua anaknya. Tiap sore, termasuk Sabtu dan Minggu, aku bekerja di restoran Cutie Kitchen, yang entah bagaimana bisa jatuh ke tangan ibu tiriku itu dan karenanya berganti nama menjadi Stella’s Food and Drink. Sebagai imbalannya, aku tetap bisa sekolah, dan menerima sedikit gaji untuk uang jajan.

Oleh karena itu, secara diam-diam aku mengirimkan cerpen hasil karyaku. Dengan nama samaran tentunya. Beberapa cerpenku sudah ada yang dimuat di majalah, jadi aku punya penghasilan tambahan.

Dua saudara tiri kembarku, Rachel dan Rihana sama kejamnya dengan ibu mereka. Mereka senang sekali menyiksaku. Entah dengan menyuruhku mengerjakan tugas sekolah, mencuci mobil, atau mengerjakan banyak hal nggak penting lainnya untuk mereka. Cinderella did it again! Menjadi upik abu di rumah yang seharusnya menjadi miliknya.

“Apa kau sudah dengar? Ada anak baru pindahan dari Inggris, “ kata Tiara, sahabatku sejak kecil.

“Oh, ya? Aku belum dengar. Di kelas mana?”

“Kelas kita.” Aku mengedarkan pandanganku ke semua penjuru kelas.

“Aku nggak melihatnya.”

“Dia masih di ruang Kepala Sekolah, kan?” Tiara mengerlingkan matanya.

“Sure, “ jawabku ketus.

“Ada apa? Si kembar jelek mengerjaimu lagi?”

“Begitulah.”

“Apa yang mereka lakukan kali ini?”

“Mereka “nggak” sengaja menumpahkan saus di gaun yang akan aku pakai ke pesta topeng.”

“Apa?” Tiara berdiri dan membuat aku harus mendongkak.

“Apa aku perlu menghajar mereka?” Aku menghembuskan nafas.

“Tidak perlu. Aku sendiri yang akan menghajar mereka saat uang warisanku cair. Lalu aku akan segera meninggalkan rumah dan hidup mandiri.”

“Tapi itu kan baru akan terjadi satu tahun, delapan bulan, dan dua belas hari dari sekarang. Lagipula aku juga nggak mengerti kenapa rumah dan restoran di wariskan ayahmu pada Stella.”

“Aku juga sama sekali nggak tahu. I have no idea about that.. Tapi, sampai uang warisanku cair, aku harus bertahan menghadapi si kembar jelek. Atau aku akan kehilangan kesempatan untuk sekolah. No school, no money. That is really bad.”

“Kau ini, kasihan sekali.”

Ya, aku ini sungguh kasihan. Aku harus mengumpulkan banyak uang untuk membeli gaun itu. Gaun putih cantik yang seharusnya aku pakai di pesta topeng yang akan diselenggarakan di sekolah kurang dari sebulan lagi. Sekarang gaun itu hanya akan jadi pengingat betapa kejamannya si kembar jelek padaku.

Menyesal aku tidak segera menitipkan gaun itu di rumah Tiara. Aku benar-benar syok berat saat pulang kerja dan melihat salah satu dari si kembar memakai gaun itu sementara yang lainnya memegang sepiring spagetti dengan banyak saus di atasnya. Sebelum itu terjadi pun, aku tahu apa yang akan dilakukan si kembar. Menumpahkan semua isi piring itu di gaunku!

Aku ingin menjambak rambut si kembar dan membenamkan kepala mereka ke dalam semangkuk besar spagetti yang aku lihat di meja makan sebelum aku naik ke kamarku. Tapi nggak mungkin aku lakukan karena Stella akan dengan senang hati menemukan alasan untuk memotong habis gajiku. Plus aku nggak akan diijinkan datang ke pesta topeng dan banyak hukuman lainnya.

Aku sudah mencoba mengilangkan noda saus itu dari gaunku. Aku segera merendamnya di deterjen begitu si kembar jelek mengembalikan gaun itu. Aku juga sudah menyikat nodanya. Tapi semua usahaku sia-sia. Usaha lain untuk mengilangkan noda itu hanya akan membuat gaunku benar-benar rusak. Intinya, si kembar sudah berhasil membuat gaun itu benar-benar tidak bisa aku pakai.

“Selamat pagi, anak-anak! Hari ini kita kedatangan murid baru. Silahkan perkenalkan dirimu!”

“Halo, aku Justin. Aku pindahan dari Inggris. Salam kenal semuanya.”

Aku memandang dengan takjub cowok yang baru saja memperkenalkan diri itu. Oh, My God! Believe me! Cowok ini ganteng banget. Nggak salah namanya Justin karena wajahnya seperti pinang dipelah dua dengan JT a.k.a. Justin Timberlake! Ditambah kulit putih bersih, mata setajam elang, dan postur tubuh yang proposional, he is more than just good looking. He is perfecto. Apalagi senyumnya. Bikin jantung semua cewek berhenti berdetak.

“Ganteng banget, ya?!” kata Tiara, membuyarkan lamunanku.

“Ehm?”

“Wah, kayaknya ada yang terpesona, nih.” Aku tersenyum.

“Ya, anak-anak. Ayo, kita mulai pelajarannya.”

Pelajaran pertama kami hari ini adalah sejarah dan berlangsung sama membosankannya dengan sebelumnya. Guru kami ini nggak pernah menyadari kalau caranya menyampaikan pelajaran bisa membuat semua anak mengantuk hanya dalam waktu sepuluh menit. Luna saja yang juara kelas hanya tahan mendengarkan setengah jam pertama sebelum akhirnya sibuk menggambar di buku catatannya.

“Apa di kelas ini nggak ada yang suka pelajaran sejarah?” tanya suara di belakangku.

“Aku lihat semua orang sibuk sendiri dan nggak ada yang memperhatikan pelajaran,” sambungnya.

“Bukannya nggak suka pelajaran sejarah. Hanya saja guru kami itu benar-benar membosankan. Orang yang nggak bisa tidur saja, bisa terbius dalam waktu maksimal setengah jam,” jawabku sambil menengok. Ingin tahu siapa yang baru saja bertanya.

“Waw, dijelaskan dengan singkat, padat, dan jelas.” Aku membelalakan mata melihat cowok yang tersenyum di hadapanku. Oh, My God! Ternyata yang bertanya barusan nggak lain dan nggak bukan adalah Si Ganteng Justin Timberlake.

Aku tersenyum untuk menutupi keterkejutanku. Padahal jantungku rasanya sudah mau loncat. Aku pastinya sangat terpesona sama cowok satu ini sampai-sampai nggak menyadari kalau dia duduk di belakngku. He-em, dunia rasanya lebih indah hari ini. Cuaca begitu cerah. Dan udara begitu sejuk.

“Dasar penulis. Semua hal dilukiskan dengan kata-kata puitis,” kata Tiara seolah bisa membaca pikiranku. Aku menoleh padanya dan menatapnya dengan pandangan sangar.

“Apa maksudmu?”

“Dalam pikiranmu kau pasti sedang berkata dunia ini sangat indah, dan bunga-bunga bermekaran, dan hal-hal lain semacam itu, kan?” tanyanya sambil mengerling ke arah Justin.

“Diam kau!”

“Meja tiga pesan dua steak dan dua orange juice,” kataku pada Nancy.

“Baik.”

“So, apa yang akan kamu pakai saat pesta topeng nanti?” tanya Tiara.

“Entahlah.”

“Apa yang terjadi, Sayang? Bukankah kau sudah membeli gaun yang kau inginkan itu?” tanya Bibi Clarisa, pelayan senior di restoran ini sekaligus pelindungku dari gangguan Stella.

“Si kembar jelek ‘nggak’ sengaja menumpahkan saus di gaun itu,” jawab Tiara, kesal. Bibi Clarisa membelalakan matanya padaku.

“Ya. Begitulah,” kataku sambil mengangkat bahu.

“Keterlaluan sekali. Biar aku hajar mereka berdua!!!” kata Bibi Clarisa berapi-api.

“Sudahlah, Bibi Cla. Tidak ada gunanya. Stella hanya akan menghukum Bibi dan aku kalau Bibi melakukan itu.”

“Yah, kau benar. Wanita itu memang seperti nenek sihir.”

“Dia nggak hanya seperti nenek sihir, tapi dia memang nenek sihir.”

“Gabby, lihat siapa yang datang!” Aku memutar badan ke arah pintu masuk dan terhenyak. Justin datang bersama Marissa and the Genk! Sejak kedatangan Justin ke sekolah kami, memang banyak cewek yang secara terang-terangan mengejarnya. Dan salah satunya adalah Marissa. Tapi karena statusnya sebagai cewek terpopuler, mudah saja baginya menyingkirkan para pesaingnya dan menggaet Justin. Ini sudah lebih dari dua minggu sejak dia pindah, tapi yang bisa aku katakan hanyalah ‘Halo’, ‘Apa kabar’, dan teman-temannya. Kami nggak pernah lagi terlibat dalam perbincangan selain yang terjadi di hari pertamanya dulu.

“Hallo, Gabby!” sapa Justin sambil tersenyum.

“Hallo! Kalian mau pesan apa?”

“Kami mau pesan makanan rendah lemak. Ada?” Aku menarik nafas.

“Tentu saja. Kau kan bisa pesan salad, Marissa. Itu jelas rendah lemak.”

“Baiklah. Aku pesan itu. Dan orange juice juga.”

“Segera diantarkan.” Aku segera berlalu dari hadapan mereka sebelum memuntahkan semua isi perutku saking sebalnya sama kelakuan Marissa.

“Menyebalkan sekali,” kataku.

“Yah. Sudah pasti itu sangat menyebalkan.”

“Huh. Aku harus pakai apa saat pesta topeng nanti? Padahal acaranya tinggal seminggu lagi.”

“Tenanglah. Kita pasti akan menemukan gaun untukmu. Bagaimana kalau besok ke rumahku. Kita cari gaun-gaun kakakku yang sudah nggak terpakai.”

“Yah. Itu ide bagus. Baiklah.”

“Ayo. Bersemangatlah!” Aku tersenyum. Meskipun hidup berkecukupan, Tiara bukanlah berasal dari kalangan jet set. Dia punya dua orang kakak dan seorang adik, jadi dia nggak bisa hidup bermewah-mewahan. Oleh sebab itu, aku nggak ingin membuatnya bertambah repot dengan masalahku yang sepele ini. Karena selama ini dia sudah banyak sekali membantuku.

Semangatku untuk ikut serta dalam pesta topeng sudah nyaris hilang setelah keesokan harinya aku nggak menemukan satu gaunpun yang bisa aku pakai. Ukuran tubuh dua kakak Tiara berbeda denganku. Tentu saja. Aku hampir sepuluh senti lebih tinggi dari mereka berdua. Sehingga badanku juga lebih lebar. Makanya, nggak satupun gaun mereka yang muat di badanku.

Tapi berkat dukungan Tiara dan Bibi Cla, masih ada sedikit semangat yang membara dalam hatiku. hanya saja semangat itu benar-benar padam saat malam pesta topeng itu benar-benar tiba. Selain nggak punya gaun untuk kupakai, si nenek sihir kembali beraksi.

“Aku dengar kau tidak mendapatkan gaun untuk kau pakai malam ini?” tanyanya.

“Ya . Itu benar, “ jawabku ketus.

“Tapi aku tetap akan pergi pesta topeng bagaimanapun caranya. Termasuk jika aku harus menyewa kostum,” sambungku, menantang. Stella tersenyum sinis.

“Aku minta maaf. Tapi sepertinya aku mengubah keputusanku.”

“Apa maksudnya itu?”

“Aku melarang kau pergi walaupun kau mendapatkan gaun untuk kau pakai.”

“Apa? Tapi kau sudah berjanji akan mengijikanku pergi.”

“Sudah kubilang aku berubah pikiran. Jadi jangan coba membantah atau kau akan merasakan akibatnya.” Aku berbalik dan meninggalkan Stella dengan kesal.

“Aku harus pergi ke jamuan makan malam di rumah Elissa. Tapi aku akan kembali jam dua belas malam. Dan aku ingin kau ada di sini. Ingat itu! Bekerjalah dengan baik, Gabrielle!” teriaknya, lalu tertawa sambil berlalu.

“Menyebalkan,” gerutuku.

“Pergilah.”

“Tidak bisa Bibi Cla. Lagipula percuma. Aku nggak punya gaun.”

“Ayo, ikut aku!”

“Kemana?”

“Ikut saja! Nancy, kami pergi dulu.”

“Pergilah. Kami semua mendukungmu. Semoga berhasil, Gabby.”

“Terima kasih, Nancy. Terima kasih semuanya.”

Aku mengikuti Bibi Cla yang ternyata membawa aku ke rumahnya. Dia masuk ke kamarnya sementara aku menunggu di ruang keluarga yang meskipun kecil, tapi hangat dan nyaman. Satu menit kemudian, Bibi Cla datang dengan membawa kotak putih berukurang besar. Yang ternyata berisi sebuah gaun berwarna pink.

“Gaun ini aku belikan untuk anakku, tapi dia meninggal sebelum sempat memakainya. Cobalah!”

“Tapi Bibi Cla, gaun ini pasti sangat berharga untuk Bibi.”

“Kau juga sangat berharga untukku, Sayang. Kau sudah seperti anakku sendiri. Aku rasa anakku juga tidak akan keberatan kalau kau memakai gaun ini. Sudah cepat pakailah! Kau, kan, tidak punya banyak waktu. Aku akan menelepon Tiara dan menuyuruhnya menjemputmu di sini.”

“Terima kasih Bibi Cla.” Aku segera memakai gaun yang diberi Bibi Cla. Dan ternyata gaun itu sangat pas di badanku. Segera saja aku tahu kalau ternyata Bibi Cla mahir mendandani orang. Aku takjub melihat diriku di cermin. Gaun ini ditambah dengan topengnya membuat aku tampak seperti Cinderella yang akan menghadiri pesta dansa di istana Sang Pangeran.

So, Will Cinderella do it again? Mencuri hati Sang Pangeran dan hidup bahagia selamanya? Well, this is just another Cinderella story. So, walaupun Gabrielle hidup menderita, pada akhirnya dia menemukan cinta sejatinya dan hidup bahagia selamanya. So, find your own happiness! Jika kau tidak juga menemukannya, just make it! Make your own happiness!

P.S. Saat usianya genap delapan belas tahun, Gabrielle mendapatkan warisannya. Bukan hanya itu. Dua hari setelahnya semua warisan termasuk rumah dan restoran jatuh ke tangannya karena Stella terbukti melakukan pemalsuan surat wasiat setelah seorang pelayan nggak sengaja menemukan surat wasiat yang asli saat sedang bersih-bersih di perpustakaan. Atas kebaikan Gabby, Stella hanya menjalani tahanan luar. Sekarang, dia dan si kembar jelek bekerja sebagai pelayan di restoran yang kini kembali bernama Cutie Kitchen. Gabby dan Justin juga sudah berkencan sejak dua bulan lalu dan memutuskan kuliah di universitas yang sama.

THE END

No comments:

Post a Comment